JAKARTA – Sentilan tajam Menteri Keuangan, Purbaya Yudhi Sadewa, terhadap Pertamina kembali menyorot lambannya pembangunan kilang minyak di...
JAKARTA – Sentilan tajam Menteri Keuangan, Purbaya Yudhi Sadewa, terhadap Pertamina kembali menyorot lambannya pembangunan kilang minyak di Indonesia. Dalam Rapat Kerja bersama Komisi XI DPR RI, Selasa (30/9/2025), Purbaya menyindir badan usaha milik negara (BUMN) itu karena dinilai kurang serius mempercepat proyek-proyek strategis nasional (PSN) yang sudah dijanjikan sejak bertahun-tahun lalu.
“Jadi kilang itu bukan karena kita tidak bisa bangun, tapi karena Pertamina malas-malasan saja,” ucap Purbaya.
Ia menuturkan, akibat kelambanan itu, Indonesia justru bergantung pada impor bahan bakar dari Singapura. Bahkan, saat pemerintah mencoba menawarkan kerja sama pembangunan kilang kepada investor asal China, Pertamina justru menolak dengan alasan sudah kelebihan kapasitas.
“Mereka bilang sudah punya tujuh proyek kilang baru, tapi sampai sekarang belum juga selesai. Yang ada malah beberapa mangkrak,” kata Purbaya.
Padahal, berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 56 Tahun 2018, terdapat tujuh proyek kilang minyak yang dimasukkan dalam daftar PSN: lima proyek pengembangan kilang atau Refinery Development Master Plan (RDMP) dan dua proyek kilang baru. Namun, sebagian besar proyek tersebut kini terhenti atau mengalami penyesuaian setelah pemerintah baru hanya melanjutkan empat proyek prioritas melalui Perpres Nomor 12 Tahun 2025.
Empat proyek yang masih berstatus PSN di era pemerintahan Presiden Prabowo Subianto adalah RDMP RU VI Balongan, RDMP RU IV Cilacap, Biorefinery Cilacap, dan Kilang Minyak Tuban (ekspansi).
Sementara itu, proyek RDMP Balikpapan menjadi satu-satunya yang menunjukkan progres signifikan. Proyek yang dikerjakan oleh PT Kilang Pertamina Internasional (KPI) itu telah mencapai 96,5% dan segera memasuki tahap uji coba operasional. Nilai investasinya mencapai US$7,4 miliar atau sekitar Rp122,72 triliun. Kilang tersebut nantinya akan meningkatkan kapasitas produksi dari 260.000 menjadi 360.000 barel per hari dengan standar bahan bakar Euro-5.
Selain itu, proyek Grass Root Refinery (GRR) Tuban juga masih berjalan lambat. Kilang yang dikerjakan bersama perusahaan Rusia, Rosneft, hingga kini masih tertahan di tahap final investment decision (FID) karena terkena dampak sanksi global terhadap Rusia. Nilai investasinya pun terus membengkak dari US$13,5 miliar menjadi US$23 miliar atau sekitar Rp377 triliun.
Sementara proyek RDMP Cilacap hingga kini belum menunjukkan kemajuan berarti setelah Saudi Aramco mundur dari kerja sama. Pertamina kini berfokus pada pengembangan biorefinery atau kilang hijau untuk memproduksi bioavtur dari minyak nabati, yang sebagian fasilitasnya sudah beroperasi.
Sejumlah pengamat menilai, stagnasi proyek-proyek kilang tersebut menjadi cerminan lemahnya tata kelola dan ketidak konsistenan dalam strategi energi nasional. Indonesia yang pernah bercita-cita menjadi negara mandiri energi, kini justru semakin bergantung pada impor BBM untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Purbaya berharap, sindiran ini menjadi peringatan bagi Pertamina agar mempercepat penyelesaian proyek-proyek strategis yang telah lama tertunda. “Kalau terus begini, kita akan terus bergantung pada impor, padahal potensi dan sumber daya kita luar biasa,” ujarnya.
Rilis : SPI Pusat
COMMENTS